Intro
Tulisan ini ditulis di sela-sela politik Indonesia sedang ramai diperbicangkan. Saya menulisnya sebagai sesuatu yang bisa mengalihkan Saya dari percakapan politik yang tak ada habisnya. Dalam perkembangannya, Saya nyaris tak mendengar hal-hal lain untuk dipercakapkan selain masalah politik. Intensitasnya naik karena ini musimnya, tetapi anehnya Saya menyerah sesaat untuk terus mengikuti arus informasi politik dan sejenak menepi untuk menulis tulisan ini.
Saya menulis tulisan ini terkadang di saat larut malam—saat semua orang terlelap dalam tidur. Dalam situasi lain, Saya terkadang menulis tulisan ini melalui sekumpulan tulisan-tulisan kecil yang telah Saya tulis pada catatan (note) dalam gawai Saya. Tulisan ini ditulis di saat Saya tak menyangka bahwa akan memulai awal tahun 2024 dengan sesuatu yang tak pernah terduga sebelumnya. Sejauh ingatan Saya, hingga akhir tahun 2023, Saya berpikir bahwa tahun 2024 akan dilewati dengan skema yang telah Saya buat sebelumnya. Saya tak menyangka bahwa semua harus berjalan dengan sedikit penyesuaian. Tulisan ini ditulis di saat Saya telah menyerah pada apa yang disebut dengan cinta dan asmara.
Saya tahu mungkin hal ini terlalu pribadi untuk disampaikan dalam rangkaian kata, tetapi tulisan ini ditulis agar tak ingin melewatkan suatu momen untuk diceritakan. Jika kamu telah membaca hingga kata-kata ini Saya tulis. Sebaiknya pikirkan kembali untuk tidak meneruskannya dan melanjutkan aktivitasmu. Sejatinya tidak hanya mengabadikan momen, melainkan keinginan lama Saya yang telah lama tak menceritakan diri sendiri kepada khalayak ramai.
Sejatinya tulisan ini ditulis untuk menceritakan apa yang Saya lihat, dengar, rasakan, dan alami secara personal. Semua itu tentang cinta yang tumbuh dan mekar secara bertahap dan setelah sekian lama tak pernah tumbuh di atas jiwa ini. Saya ingin menyebutnya unik, karena benar-benar Saya tak bisa menyangka—untuk kesekian kalinya—bahwa Saya harus merasakan dan berurusan hal-hal berkenaan dengan cinta. Saya pun tak menyangka bahwa apa yang Saya ceritakan melalui narasi ini, ditujukan pada orang yang Saya sendiri pun tak pernah menyangkanya. Saya pun berharap dirinya yang tertuang dalam tulisan ini, tak benar-benar serius membaca tulisan ini.
Sepertinya sebelum memasuki apa inti yang ingin Saya narasikan dalam tulisan ini. Ada baiknya Saya menerangkan terlebih dahulu tentang bagaimana dirinya bertemu dan berinteraksi dengan Saya. Lebih tepatnya di saat-saat Saya merasa tak punya apa-apa (baca: cinta) kepada dirinya. Aku biasanya menyebutnya dengan istilah "Membangun Cinta" Learn to Love
Semuanya Itu Tentang Badminton
Suatu hari Saya bersama rekan-rekan kuliah mengagendakan Main Badminton setelah kami tidak ada kelas, disalah satu gelanggan olahraga (Sport Point), permainan berlangsung seperti biasanya tidak ada yang istimewa pada saat itu hingga dia datang, mana datangnya terlambat lagi, sehingga kami tidak sempat untuk kenalan dan itu pertama kalinya saya melihatnya, Seperti kebiasaan Saya sebelumnya, Saya kerap memperhatikan orang baru, tempat baru, atau hal-hal lain yang Saya anggap patut untuk diperhatikan. Seingat Saya di pagi itu, dia mengenakan kerudung warna cream, kemeja hijau kotak2 lengan panjang, dan bawahan hitam, serta kacamata. Dari segi perilaku, terlihat dia bukan orang yang cerewet kepada orang yang baru ia temui dan lebih banyak berdiam. Dalam pikiranku berkata “Saya jadi penasaran dengan suaranya”.
Suatu hari, Saya ingat bahwa pada akhirnya dia harus berinteraksi dengan Saya, kemudian saat itu untuk pertama kalinya Saya, mendengan suaranya dengan cukup jelas. Dalam penggalan kalimat yang ia sampaikan saat itu: “Mas boleh isi kuisioner saya", Saya nyaris tertawa dan membuat suasana menjadi tidak baik. Dalam pikiran Saya berkata: “kenapa suara orang ini agak lucu yah? Mungkin memang setiap orang punya suara unik”. Suara hidung dan dialeg jawa adalah ciri khas yang paling melekat dari dia. Sebenarnya itu bukan lah suatu kekurangan, tetapi memang manusia sulit terbiasa dengan hal-hal yang tidak biasa. Benar bahwa keberagaman setiap orang harus dipandang sebagai suatu rahmat dari Tuhan, termasuk dalam hal warna dan intonasi suara.
Masa Lalu yang Mengubah Banyak Hal
Sepertinya kurang tepat jika Saya tidak menceritakan hal ini kepada pembaca. Sub bagian ini memang harus diceritakan karena bukan hanya saja tulisan ini ditulis dari sudut pandang Saya, tetapi sub bagian punya pertalian yang kuat dengan substansi tulisan ini sendiri. Dalam sub bagian ini, Saya ingin memulai dari sebuah kutipan yang ditulis oleh Asti Musman dalam Berdamai dengan Masa Lalu. Dalam buku tersebut, Asti berkata: “Rasa sakit hati di masa lalu ibarat sebuah bola besi. Maka, janganlah memikul bola itu sendirian di atas kepala. Sudah waktunya bagi kita untuk menggeser atau melemparkan rasa sakit itu. Mengeluarkan penyesalan. Memaafkan diri sendiri, dan memaafkan mereka”.
Bahwa benar banyak hal yang mempengaruhi diri kita di saat ini. Paling tidak salah satu hal yang berpengaruh adalah masa lalu. Tak dapat dipungkiri bahwa Saya di hari ini adalah hasil bentuk Saya di masa lalu. Setidak-tidaknya Saya banyak mengambil pelajaran dari masa lalu untuk Saya kemajuan diri Saya sendiri. Saya pun tidak menyangkal apa yang Saya petik dari buah masa lalu tidak selalu benar, masih terbuka ruang untuk dibenahi.
Ini semua tentang cerita sektiar tahun 2020, saat Saya terakhir kali merasakan jatuh cinta. Saat Saya tidak menyangka bahwa semua harus terasa tragis. Saat Saya mencoba mengingatnya, Saya merasa tertawa sendiri karena Saya tak menyangka bahwa Saya pernah seburuk itu menyikapi patah hati. Saya pernah meletakan perasaan paling dalam yang pernah Saya punya pada seseorang yang pikir itu adalah cinta terakhir Saya. Saya pernah berpikir bahwa Saya akan berlabuh pada pelabuhan terakhir. Ternyata pelabuhan itu harus hancur di saat kapal perasaan ini nyaris berlabuh.
Saat-saat itu, Saya harus berpikir bagaimana caranya untuk bisa berdamai dengan patah hati. Saya tahu bahwa konsekuensi logis dari jatuh cinta adalah patah hati, tapi saat itu Saya belum siap untuk menerima patah hati. Saya termakan atau lebih tepatnya dibunuh oleh ekspektasi Saya sendiri. Saya tahu bahwa perasaan terlalu dalam pada seseorang akan berpotensi membunuh Saya baik saat sendiri atau di tengah keramaian. Puncaknya adalah saat Saya tidak dapat memberi batas antara menertawakan diri sendiri dengan menangisi diri sendiri. Saya menertawakan diri sendiri karena tidak menyangka harus patah hati di saat Saya larut pada perasaan dan tidak berpikir tentang mitigasi perasaan. Saya menagisi diri sendiri karena Saya tak menyangka nasib baik tak berpihak pada Saya saat itu.
Beranjak setelah dari momen-momen itu, Saya banyak belajar dengan cara mengevaluasi prinsip dan metode berpikir yang Saya anut. Ada banyak kesalahan yang Saya temui dan langkah sederhananya adalah Saya harus membenahi semua itu. Paling tidak Saya harus lebih akurat dalam menyikapi sesuatu. Semisal, dalam jatuh cinta, Saya dibenarkan untuk meletakan harapan. Yah, justru karena harapan itu lah Saya masih melakukan semua hal teknis dalam jatuh cinta, tetapi harapan yang berlebihan adalah bom waktu pada diri Saya sendiri. Ini sama halnya seperti Saya mengocok dadu yang tidak pernah Saya tahu angka yang akan keluar dari hasil kocokan tersebut. Namun Saya harus tetap meletakan pengharapan di sana karena dari sana lah semangat itu lahir.
Selanjutnya Saya tahu bahwa jatuh cinta kepada manusia pada kenyatannya harus lah diukur takarannya. Kita harus mencintai manusia sebagaimana manusia itu semestinya dicintai. Saya ingat dalam suatu buku tentang sejarah Nabi dalam Islam, tidak sedikit di zaman Nabi Muhammad Saw orang-orang mencintainya sangat berlebihan hingga menganggap dia adalah Tuhan. Artinya terdapat kesalahan penempatan dan kesalahan pengukuran kepada seorang manusia. Dengan demikian, pentingnya kita mencintai sesuatu secara tepat dan benar. Kesalahan Saya saat itu adalah mencintai seseorang terlalu berlebihan hingga Saya lupa bahwa semua hal yang berkenaan dengan patah hati dapat saja terjadi.
Kemudian Saya tak pernah matang dalam mewujudkan sikap bersyukur dan ikhlas dalam kehidupan sehari-hari. Seharusnya sikap yang dapat menyelamatkan Saya pada saat patah hati adalah sikap bersyukur dan ikhlas. Tanpa kedua sikap itu Saya akan terus merasa bersalah pada diri sendiri tanpa henti. Bahkan Saya akan terus memprotes jalannya hidup karena tidak pernah berpihak kepada Saya. Sikap bersyukur dan ikhlas pun adalah sikap yang tak mengabaikan sikap bersungguh-sungguh pada sesuatu. Jatuh cinta tidak hanya tentang perasaan pada hati tetapi harus diwujudkan dalam tindakan sungguh-sungguh namun tetap terikat pada sikap bersyukur dan ikhlas. Sehingga setiap pencapaian baik yang lahir dari usaha yang sungguh-sungguh akan diikat oleh rasa bersyukur dan setiap nasib buruk yang lahir setalah melakukan usaha sungguh-sungguh akan diikat oleh rasa ikhlas.
Di satu sisi setelah hari-hari itu, Saya mulai belajar untuk memahami bahwa jatuh cinta punya dua cabang untuk dipahami. Satu pada konsep dan kedua pada usaha teknis. Dalam ranah konsep, jatuh cinta harus bertemu dengan prinsip-prinsip dalam diri Saya sendiri sedang pada ranah usaha teknis, jatuh cinta harus terwujud pada langkah-langkah yang lebih matang. Dari hal itu Saya memahami bahwa soal jatuh cinta pada dasarnya tidak lah mudah, semua akan menjadi tantangan tersendiri jika dipahami secara utuh dan tidak terpisah-pisah. Benar bahwa ada orang-orang di luar sana sudah lebih baik dalam urusan jatuh cinta. Namun Saya pribadi masih merasa tak pandai dan dapat dikatakan “newbie” atau “noob”, terutama dalam urusan usaha. Dalam ranah konsep, Saya pastikan Saya akan cintai seseorang dengan kesungguhan hati yang Saya punya, namun Saya selalu merasa tidak tahu harus berbuat apa saat diturunkan di level lebih teknis. Itu adalah pekerjaan rumah yang harus terus menerus Saya benahi.
Setelah semua tragedi itu berlalu, Saya merasa bahwa ada perasaan malas untuk berurusan dengan jatuh cinta. Saya berpikir bahwa betapa rumitnya untuk berurusan dengan jatuh cinta. Tak harus sampai membangun hubungan yang resmi, masih pada tahapan PDKT saja sudah membuat Saya malas. Hal yang paling yang membuat malas adalah tentang dinamisnya perasaan orang. Saya ingin terangkan bahwa jika berurusan dengan jatuh cinta maka kita juga akan terlibat dalam dinamisnya perasaan. Saya tidak cukup kuat untuk membayangkan tentang perasaan dinamis yang harus Saya jalani ketika jatuh cinta. Seolah-seolah seperti menaiki kereta luncur (roller coaster) dengan kecepatan tinggi dan melewati berbagai jenis lintasan. Artinya perasaan dinamis yang dirasakan oleh seseorang jatuh cinta akan membuat dia sibuk dengan banyak hal.
Hingga di suatu waktu Saya berpikir bahwa Saya tidak akan mungkin lagi untuk jatuh cinta, karena alasan tersebut. Terkadang Saya merasa bahwa hidup yang dijalani tanpa jatuh cinta adalah cara hidup yang paling tepat untuk Saya pribadi.
Perasaan yang Mengendap
Saya selalu percaya bahwa memori manusia tidak hanya merekam hal-hal yang bersifat indrawi, tetapi juga hal-hal yang bersifat intuitif. Saya tidak menyangka bahwa Saya harus berurusan dengan jatuh cinta setelah sekian lama. Jika Saya hitung, kurang lebih sudah 3 tahun berlalu sejak terakhir kali Saya jatuh cinta. Saya bahkan tak menyangka bahwa akhir 2023 akan berurusan dengan hal seperti ini. Memang ini bukan sesuatu yang Saya rencakan sejak lama, tetapi Saya merasa semua menjadi tiba-tiba begitu saja. Semua ini berawal dari seorang teman yang pada suatu siang datang menemuni Saya dan berbicara banyak kepada Saya.
“Sepertinya kau tidak sadar dengan semua hal yang telah kau lakukan. Semua itu seolah-olah kau menaruh perasaan kepadanya dan seolah-olah kau mendekati dia. Lihat saja cara kau perhatian dengan dia. Itu seperti bukan perhatian kepada orang pada umumnya,” ujar teman tersebut kepada Saya. Saat itu Saya berkata: “bisa tidak kita bahas di lain waktu? ini jam dua siang!”. Walaupun Saya telah meminta seperti itu, namun percakapan tetaplah percakapan. Ia mengalir seperti air sungai yang mencari muara.
Saat itu Saya terpaksa harus membaca beberapa percakapan antara Saya dengan dia di Whatsapp. Di satu sisi, Saya coba secepat kilat untuk mengingat semua perbuatan Saya kepada dia. Akhirnya Saya sampaikan kepada teman Saya: “berikan Saya waktu, Saya coba identifikasi sendiri, agar Saya bisa validasi sendiri perasaan yang Saya punya”. Singkat cerita, Saya memulai semua proses validasi itu. Saya tak bisa berpikir apa yang harus Saya lakukan untuk bisa memulai semua proses validasi ini. Hingga akhirnya Saya terpikirkan untuk mengajak makan Coto Makassar
Kesan aneh sudah pasti muncul dari dia, karena ini adalah hal pertama yang Saya sampaikan kepada dia. Namun syukurnya dia bersedia untuk iku di hari kami janjian. Saya tidak fokus pada soal Coto, Target Saya hanyalah memulai untuk memvalidasi perasaan sendiri dengan maksud menjawab pertanyaan: apakah sebenarnya Saya punya perasaan kepada dia atau tidak?. Berangkat dari pertanyaan tersebut, akhirnya Saya memulai semua proses validasi itu. Di sela sela kami makan, Saya mulai mencoba memandang matanya dan ingin mengetahui respon dari perasaan Saya. Namun Saya pun belum merasakan perasaan itu muncul.
Sebenarnya perasaan itu muncul karena kami sering bercakap di tengah-tengah makan dan setiap perjalanan. Saya merasa sedikit ada perasaan jatuh hati di setiap kami bercakap dan tertawa. Memang benar Saya tidak seromantis Romeo yang digambarkan oleh William Shakespeare, Majnun yang digambarkan oleh Nizami Ganjavi, atau Dilan yang digambarkan oleh Pidi Baiq. Lagi pula istilah “romantis” selalu punya ragam penerapan. Artinya setiap orang punya caranya sendiri untuk romantis.
Kembali ke proses validasi. Peristiwa nonton film tersebut tidak memuaskan Saya untuk memvalidasi. Artinya Saya tidak punya cukup kesimpulan untuk menegaskan perasaan Saya kepada dia, apakah ada atau tidak ada?. Pada hari-hari selanjutnya Saya coba untuk perhatian kepada dia, tetapi dengan motivasi yang berbeda. Kali ini benar-benar Saya ingin uji diri Saya sendiri. Akhirnya Saya memutuskan untuk mengurangi komunikasi dengan dia. Jika dalam tes ini Saya merasa ada gejolak rindu, maka itu membuat Saya punya bukti baru.
Di satu malam–dalam proses mengerjakan tugas tugas kuliah. Dalam setiap artikel yang saya baca tersebut terbayang-bayang tentang dia dipikiran Saya. Saya harus berkata pada diri Saya sendiri: “masa iya, Saya jatuh cinta?”. Saya mencoba untuk membantah itu sejak dalam pikiran namun selanjutnya Saya terpikirkan tentang kondisinya dia. Ragam pertanyaan seperti: “apakah dia sudah makan?”, “apa yang dia perbuat?”, “bagaimana kondisinya di sana?”. Semuanya mulai silih berganti datang dalam pikiranku.
Suatu malam Saya mulai terpikirkan tentang dirinya. Hal itu datang dengan tiba-tiba, tanpa Saya kehendaki. Saya terpikirkan raut wajahnya, candaan-candaan yang kami temukan saat berbincang, dan paling aneh saat itu Saya terpikirkan sorot matanya. Sekali lagi Saya berkata kepada diri sendiri: “masa harus dia?” dan “sepertinya tidak mungkin ini semua terjadi”. Saya mencoba menyibukan diri dengan membaca beberapa buku yang telah lama Saya niatkan untuk membacanya. Namun naas, Saya mulai terjebak dengan semua pikiran itu. Di malam itu, Saya merasa gugup sendiri. Seolah-olah antara tidak percaya dan bingung harus melakukan apa. Namun keesokan harinya Saya mencoba lagi untuk membantah hal tersebut.
Di suatu siang, Saya mencoba untuk mengajak dia makan siang. Saya pikir karena dia belum makan saat itu. Beberapa waktu setelah makanan itu tiba, Saya jadi teringat sebuah penggalan kata dari novelis Dee Lestari dalam Perahu Kertas. Dee berkata: “Karena hati tidak perlu memilih, ia selalu tahu ke mana harus berlabuh”. Saya merasa bahwa siang hari memikirkan seseorang bukan lah sesuatu yang lazim, tapi Saya tahu bahwa kenyataannya kita bisa saja memikirkan seseorang tanpa mengenal waktu.
Saya merasa mulai jengkel karena yang tadi Saya sebut di atas, yaitu “dinamisnya perasaan”. Saya kadang-kadang merasa ingin bertemu dengannya, Saya terkadang harus menghindarinya, dan Saya mulai merasa terjebak dan tidak bisa keluar dari perasaan ini. Namun Saya merasa ini belum kuat untuk ditarik kesimpulan. Sebenarnya Saya pun mulai merasa aneh kepada diri sediri karena dalam waktu yang sama Saya berkeinginan untuk memvalidasi perasaan Saya sendiri, kemudian menolak semua kenyataan yang digaungkan oleh perasaan ini, sekaligus bingung dengan apa yang harus Saya lakukan. Semuanya menjadi mixed feeling untuk waktu yang lama.
Untuk beberapa kali kesempatan Saya kadang tidak sadar melihat wajahnya yang sedang sibuk mengerjakan sesuatu di hadapan Saya. Saya rasa itu semakin membuat perasaan aneh dalam hati semakin kuat dan berpikir “sepertinya persoalan validasi ini akan segera tiba ujungnya”. Sesekali kami berinteraksi, tetapi Saya merasa mulai canggung untuk berinteraksi dengan dia. “apakah ini perasaan jatuh cinta itu?”, kataku dalam hati. Namun untuk kesekian kalianya Saya mencoba untuk menepiskan pikiran tersebut.
Suatu malam Saya mencoba untuk mengakhiri semua proses validasi ini dengan merenung sembari mengulas kembali hal-hal yang telah terjadi. Saya berpikir dan merasa bahwa benar Saya jatuh cinta padanya dan Saya menaruh hati kepadanya. Saya pikir itu adalah kesimpulan yang jelas untuk memotret semua hal yang telah terjadi antara Saya dengan dia. Saya tidak menyangka hal tersebut, setelah sekian lama Saya harus kembali berurusan dengan jatuh cinta. Namun Saya pun merasa bahwa Saya tidak menyesali bahwa dia adalah orang yang cintai setelah lama tak mencintai seseorang. Itu dikarenakan Saya merasa Saya jatuh hati pada orang yang tepat untuk Saya cintai. Bahkan rasa tidak menyesal itu membuat Saya untuk tidak pernah takut atas penolakan yang suatu saat dia sampaikan kepada Saya.
Kesadaran Saya tiba pada hal-hal yang telah terlewati dengan dirinya. Saya menyadari bahwa sejatinya ada perasaan yang mengendap pada hati ini. Perasaan itu ternyata di setiap harinya semakin menebal karena interaksiku dengan dirinya. Akhirnya aku menyadari bahwa bukan hanya interaksi diantara kami berdua yang terbangun, namun pada saat yang bersamaan ada perasaan dalam diriku yang diam-diam ikut tumbuh membersamai interaksi itu. Mungkin saja perasaan yang tumbuh bersama interaksi itu setelah kami menyelesaikan perjalanan ke kampung halamannya. Mustahil bagi Saya untuk menolak semua ini karena semuanya terus tumbuh mengganggu pikiranku.
Saya pun menyadari bahwa jatuh cinta selalu unik, ia tidak harus dalam situasi langsung tetapi bisa juga dalam situasi secara tidak langsung. Dalam kesunyian ia terus perlahan tumbuh lalu mengikat seluruh tubuhku serta ikut bersama setiap tarikan dan hembusan nafas serta seolah-olah tak ingin lepas. Saya pun menyadari bahwa di hari-hari Saya menyadari tentang perasaan ini, Saya tahu itu tidak sederhana. Selanjutnya adalah bagaimana Saya bisa menyatakannya pada dirinya. Namun satu hal yang masih menjadi pertanyaan saat itu: “apakah dia menyadari perasaan ini?.”
Kenapa Harus Dia?
Ini merupakan sub bagian paling berat untuk Saya tulis sebab Saya nyaris tak punya cukup argumentasi untuk menerangkan alasan memilih dia atau alasan untuk jatuh hati padanya. Di satu sisi, Saya berpikir bahwa kutipan “cinta tak perlu alasan” sedikit mengganjal bagi Saya karena sangat tidak mungkin cinta hadir tanpa suatu alasan tertentu, baik itu alasan subjektif maupun alasan objektif.
Berkali-kali Saya coba diidentifikasi secara mandiri tentang alasan Saya memilih dia untuk melabuhkan hati ini. Saya merasa bahwa semua itu tentang perasaan yang mengendap setelah sekian lama. Saya tahu bahwa cinta harus menyertakan alasan sekalipun alasan itu sulit untuk ditemukan. Namun jika Saya bisa memilih satu kata, maka Saya akan memilih kata “kenyamanan” untuk membungkus seluruh proses itu. Saya tahu mungkin kata ini tidak lah akurat, tetapi apa yang rasa adalah demikian. Saya merasa bahwa komunikasi dan interaksi dengan dia telah terbangun sampai pada kata “kenyamanan”. Di satu sisi, kesamaan prinsip adalah hal yang paling pokok dan itu jantung komunikasi yang paling penting. Sederhanannya Saya merasa dalam sudut pandang Saya bahwa adanya kesamaan diantara kami itu karena nyaris semua variabel pada prinsip-prinsip kami telah menemui kesamaan. Sekiranya itu adalah alasan yang paling substansial dari pada yang Saya temukan setelah hari-hari panjang Saya lewati.
Di Hari-Hari Selanjutnya
Hampir tidak ada dalam benak Saya tentang suatu hal yang kenyataannya merepotkan diri Saya sendiri, tetapi pada akhirnya Saya jalani dengan kesungguhan hati yang Saya miliki. Di hari-hari selanjutnya telah menjadi tantangan, Saya merasa bahwa upaya untuk menguji diri sendiri tidak lah habis hanya sampai pada tahapan PDKT. Masih ada lembaran-lembaran selanjutnya yang menjadi tantangan. Saya tahu bahwa suatu saat Saya akan mengungkapkan semua itu dengan penuh perasaan yang mendalam. Mari kita kesampingkan jawaban yang akan dilontarakan olehnya karena Saya pribadi lebih memilih prinsip “untuk membenahi ikhtiar dari pada sibuk panik pada hasil”. Terkadang sibuk pada hasil membuat Saya pribadi lupa untuk membenahi ikhtiar. Lebih sederhana lagi, bagi Saya yang menganut konsep tentang hak asasi manusia adalah sesuatu yang melekat sejak lahir, tak mengherankan untuk tidak pernah memasuki ruang kebebasan yang dia punyai. Dia dengan segala hak melekat pada dirinya, mempunyai kebebasan untuk mengukur, menguji, dan memilih Saya. Sebab manusia berhak untuk memutuskan pilihannya, tak terkecuali memutuskan orang yang dia cintai.
Di hari-hari selanjutnya Saya berpikir bahwa jauh sebelum bertemu dengan Saya, dia mungkin saja mempunyai orang yang ia cintai. Pun bertemu dengan Saya, dia mungkin saja tidak melihat Saya sebagai seseorang yang masuk dalam kriteria-kriteria yang ia buat. Semua itu yang membuat Saya selalu berpikiran ditolak olehnya. Namun pertanyaan krusialnya adalah: “apakah sikap dan perilaku Saya kepada dia akan berubah jika ditolak?”. Sejatinya sikap dan perilaku Saya tidak akan berubah kepadanya, terkecuali niat dan motivasi yang menyertainya.
Di hari-hari selanjutnya Saya berpikir bahwa dia membutuhkan waktu untuk bisa merespon secara utuh. Semua mungkin akan terpengaruhi oleh banyak hal. Saya tak pernah tahu apa yang di hati dan di pikirannya, namun yang terpenting adalah Saya fokus pada apa yang harusnya Saya lakukan sembari mempersiapkan sikap bersyukur dan ikhlas. Lalu pernyataan lainnya bermunculan: “apakah perasaan Saya akan berubah?”. Pada prinsipnya, perasaan Saya berubah pada dirinya jika dirinya sendiri yang memintanya karena lagi dan lagi ini menyangkut kebebasan yang sejatinya Saya miliki dan dia miliki juga.
Saya ingat bahwa Saya sering keterusan berbicara sesuatu kepadanya. Alhasil Saya sedikit banyak bercerita tentang pengalaman Saya dalam memvalidasi perasaan kepada dia langsung. Saya rasa itu adalah tindakan paling bodoh dan aneh pernah Saya lakukan, tetapi semua telah tersampaikan, tugas dia hanya mendengarkan dan merespon apa yang Saya sampaikan.
Outro
Pada bagian terakhir ini, Saya ingin meminjam kata-kata seorang Filsuf asal Jerman yang lewat diberanda Ig saya, Georg Wilhelm Friedrich Hegel. Dalam bukunya yang berjudul Grundlinien der Philosophie des Rechts (Elements of the Philosophy of Right), Hegel berkata: “Filsafat, sebagaimana Burung Minerva, selalu datang terlambat. Ia datang saat hari sudah berganti malam; saat kenyataan sudah selesai sebagai kemenjadian”. Meminjam kata-kata Hegel tersebut, Saya ingin berkata: “cinta terkadang seperti Burung Minerva, terkadang ia datang terlambat. Ia datang saat nyaris kesadaran tak ingin berkata aku mencintai dirinya; saat semua perasaan tentang dirinya nyaris tak menjadi apa-apa”.
Saya pun merasa bersyukur dengan semua ini, bersyukur akan jatuh cinta pada dirinya dan bersyukur untuk tak pernah ada rasa sesal untuk mencintai dirinya. Bagi Saya, sekali lagi, Saya tak sedikit pun menyesal kalau tahu Saya akan jatuh cinta kepada seseorang dan orang itu adalah dirinya. Saya pun tak menyesali pernah jatuh cinta pada orang menyukai matcha, kucing, lagu-lagu Tulus, makan soup cream, jokes bapak-bapak dan Apakah sekarang di juga telah menyukai Oppa2 Korea seperti bestinya (N) Partner badmin saya, serta berprinsip untuk tidak melompati masuk ke dalam ruang kebebasan orang lain. Tak sedikit pun Saya sesali ini.
Sebenarnya Saya berharap tulisan ini abadi di perangkat Saya, tetapi Saya pun ingin mengabadikannya sebagai suatu momen yang terekam dalam memori saya. Saya pun berharap awalnya tak akan pernah dibaca oleh yang bersangkutan, namun mungkin garis takdir serta kekocakandan kekakuan yang saya buat menjadikan tulisan ini akhirnya akan dibaca oleh dirinya. Hingga di akhir kalimat ini, saya ingin menitip pesan untuk dirinya yang membaca tulisan: “kenyataan kadang tidak memihak kepada apa yang kita kehendaki, mungkin saja waktu saya tidak begitu lama, tetapi saya senang dan tak sedikit pun menyesali apa yang saya berikan kepadamu, benar-benar tak akan menyesalinya. Engkau bisa mengujinya dengan waktu. Jika benar-benar kenyataan tak memihak pada Saya sekalipun, biarkan Saya abadikan semua sikap dan perbuatan yang pernah saya berikan untukmu sebagai momen yang indah dan bermakna. Terima kasih”.