Kamis, 29 Februari 2024

Pertemuan yang tak Pernah Kusesali #4

Intro  

    Tulisan ini ditulis di sela-sela politik Indonesia sedang ramai diperbicangkan. Saya menulisnya sebagai sesuatu yang bisa mengalihkan Saya dari percakapan politik yang tak ada habisnya. Dalam perkembangannya, Saya nyaris tak mendengar hal-hal lain untuk dipercakapkan selain masalah politik. Intensitasnya naik karena ini musimnya, tetapi anehnya Saya menyerah sesaat untuk terus mengikuti arus informasi politik dan sejenak menepi untuk menulis tulisan ini.  

   Saya menulis tulisan ini terkadang di saat larut malam—saat semua orang terlelap dalam tidur. Dalam situasi lain, Saya terkadang menulis tulisan ini melalui sekumpulan tulisan-tulisan kecil yang telah Saya tulis pada catatan (note) dalam gawai Saya.  Tulisan ini ditulis di saat Saya tak menyangka bahwa akan memulai awal tahun 2024 dengan sesuatu yang tak pernah terduga sebelumnya. Sejauh ingatan Saya, hingga akhir tahun 2023, Saya berpikir bahwa tahun 2024 akan dilewati dengan skema yang telah Saya buat sebelumnya. Saya tak menyangka bahwa semua harus berjalan dengan sedikit penyesuaian.  Tulisan ini ditulis di saat Saya telah menyerah pada apa yang disebut dengan cinta dan asmara. 

    Saya tahu mungkin hal ini terlalu pribadi untuk disampaikan dalam rangkaian kata, tetapi tulisan ini ditulis agar tak ingin melewatkan suatu momen untuk diceritakan. Jika kamu telah membaca hingga kata-kata ini Saya tulis. Sebaiknya pikirkan kembali untuk tidak meneruskannya dan melanjutkan aktivitasmu. Sejatinya tidak hanya mengabadikan momen, melainkan keinginan lama Saya yang telah lama tak menceritakan diri sendiri kepada khalayak ramai.            

    Sejatinya tulisan ini ditulis untuk menceritakan apa yang Saya lihat, dengar, rasakan, dan alami secara personal. Semua itu tentang cinta yang tumbuh dan mekar secara bertahap dan setelah sekian lama tak pernah tumbuh di atas jiwa ini. Saya ingin menyebutnya unik, karena benar-benar Saya tak bisa menyangka—untuk kesekian kalinya—bahwa Saya harus merasakan dan berurusan hal-hal berkenaan dengan cinta. Saya pun tak menyangka bahwa apa yang Saya ceritakan melalui narasi ini, ditujukan pada orang yang Saya sendiri pun tak pernah menyangkanya. Saya pun berharap dirinya yang tertuang dalam tulisan ini, tak benar-benar serius membaca tulisan ini.              

    Sepertinya sebelum memasuki apa inti yang ingin Saya narasikan dalam tulisan ini. Ada baiknya Saya menerangkan terlebih dahulu tentang bagaimana dirinya bertemu dan berinteraksi dengan Saya. Lebih tepatnya di saat-saat Saya merasa tak punya apa-apa (baca: cinta) kepada dirinya. Aku biasanya menyebutnya dengan istilah "Membangun Cinta" Learn to Love


Kredit : Viktoriia Lomtieva

Semuanya Itu Tentang Badminton

    Suatu hari Saya bersama rekan-rekan kuliah mengagendakan Main Badminton setelah kami tidak ada kelas, disalah satu gelanggan olahraga (Sport Point), permainan berlangsung seperti biasanya tidak ada yang istimewa pada saat itu hingga dia datang, mana datangnya terlambat lagi, sehingga kami tidak sempat untuk kenalan dan itu pertama kalinya saya melihatnya, Seperti kebiasaan Saya sebelumnya, Saya kerap memperhatikan orang baru, tempat baru, atau hal-hal lain yang Saya anggap patut untuk diperhatikan. Seingat Saya di pagi itu, dia mengenakan kerudung warna cream, kemeja hijau kotak2 lengan panjang, dan bawahan hitam, serta kacamata. Dari segi perilaku, terlihat dia bukan orang yang cerewet kepada orang yang baru ia temui dan lebih banyak berdiam. Dalam pikiranku berkata “Saya jadi penasaran dengan suaranya”.

    Suatu hari, Saya ingat bahwa pada akhirnya dia harus berinteraksi dengan Saya, kemudian saat itu untuk pertama kalinya Saya, mendengan suaranya dengan cukup jelas. Dalam penggalan kalimat yang ia sampaikan saat itu: “Mas boleh isi kuisioner saya", Saya nyaris tertawa dan membuat suasana menjadi tidak baik. Dalam pikiran Saya berkata: “kenapa suara orang ini agak lucu yah? Mungkin memang setiap orang punya suara unik”. Suara hidung dan dialeg jawa adalah ciri khas yang paling melekat dari dia. Sebenarnya itu bukan lah suatu kekurangan, tetapi memang manusia sulit terbiasa dengan hal-hal yang tidak biasa. Benar bahwa keberagaman setiap orang harus dipandang sebagai suatu rahmat dari Tuhan, termasuk dalam hal warna dan intonasi suara.

 Masa Lalu yang Mengubah Banyak Hal             

    Sepertinya kurang tepat jika Saya tidak menceritakan hal ini kepada pembaca. Sub bagian ini memang harus diceritakan karena bukan hanya saja tulisan ini ditulis dari sudut pandang Saya, tetapi sub bagian punya pertalian yang kuat dengan substansi tulisan ini sendiri. Dalam sub bagian ini, Saya ingin memulai dari sebuah kutipan yang ditulis oleh Asti Musman dalam Berdamai dengan Masa Lalu. Dalam buku tersebut, Asti berkata: “Rasa sakit hati di masa lalu ibarat sebuah bola besi. Maka, janganlah memikul bola itu sendirian di atas kepala. Sudah waktunya bagi kita untuk menggeser atau melemparkan rasa sakit itu. Mengeluarkan penyesalan. Memaafkan diri sendiri, dan memaafkan mereka”.              

    Bahwa benar banyak hal yang mempengaruhi diri kita di saat ini. Paling tidak salah satu hal yang berpengaruh adalah masa lalu. Tak dapat dipungkiri bahwa Saya di hari ini adalah hasil bentuk Saya di masa lalu. Setidak-tidaknya Saya banyak mengambil pelajaran dari masa lalu untuk Saya kemajuan diri Saya sendiri. Saya pun tidak menyangkal apa yang Saya petik dari buah masa lalu tidak selalu benar, masih terbuka ruang untuk dibenahi.              

    Ini semua tentang cerita sektiar tahun 2020, saat Saya terakhir kali merasakan jatuh cinta. Saat Saya tidak menyangka bahwa semua harus terasa tragis. Saat Saya mencoba mengingatnya, Saya merasa tertawa sendiri karena Saya tak menyangka bahwa Saya pernah seburuk itu menyikapi patah hati. Saya pernah meletakan perasaan paling dalam yang pernah Saya punya pada seseorang yang pikir itu adalah cinta terakhir Saya. Saya pernah berpikir bahwa Saya akan berlabuh pada pelabuhan terakhir. Ternyata pelabuhan itu harus hancur di saat kapal perasaan ini nyaris berlabuh.              

    Saat-saat itu, Saya harus berpikir bagaimana caranya untuk bisa berdamai dengan patah hati. Saya tahu bahwa konsekuensi logis dari jatuh cinta adalah patah hati, tapi saat itu Saya belum siap untuk menerima patah hati. Saya termakan atau lebih tepatnya dibunuh oleh ekspektasi Saya sendiri. Saya tahu bahwa perasaan terlalu dalam pada seseorang akan berpotensi membunuh Saya baik saat sendiri atau di tengah keramaian. Puncaknya adalah saat Saya tidak dapat memberi batas antara menertawakan diri sendiri dengan menangisi diri sendiri. Saya menertawakan diri sendiri karena tidak menyangka harus patah hati di saat Saya larut pada perasaan dan tidak berpikir tentang mitigasi perasaan. Saya menagisi diri sendiri karena Saya tak menyangka nasib baik tak berpihak pada Saya saat itu.              

    Beranjak setelah dari momen-momen itu, Saya banyak belajar dengan cara mengevaluasi prinsip dan metode berpikir yang Saya anut. Ada banyak kesalahan yang Saya temui dan langkah sederhananya adalah Saya harus membenahi semua itu. Paling tidak Saya harus lebih akurat dalam menyikapi sesuatu. Semisal, dalam jatuh cinta, Saya dibenarkan untuk meletakan harapan. Yah, justru karena harapan itu lah Saya masih melakukan semua hal teknis dalam jatuh cinta, tetapi harapan yang berlebihan adalah bom waktu pada diri Saya sendiri. Ini sama halnya seperti Saya mengocok dadu yang tidak pernah Saya tahu angka yang akan keluar dari hasil kocokan tersebut. Namun Saya harus tetap meletakan pengharapan di sana karena dari sana lah semangat itu lahir.              

    Selanjutnya Saya tahu bahwa jatuh cinta kepada manusia pada kenyatannya harus lah diukur takarannya. Kita harus mencintai manusia sebagaimana manusia itu semestinya dicintai. Saya ingat dalam suatu buku tentang sejarah Nabi dalam Islam, tidak sedikit di zaman Nabi Muhammad Saw orang-orang mencintainya sangat berlebihan hingga menganggap dia adalah Tuhan. Artinya terdapat kesalahan penempatan dan kesalahan pengukuran kepada seorang manusia. Dengan demikian, pentingnya kita mencintai sesuatu secara tepat dan benar. Kesalahan Saya saat itu adalah mencintai seseorang terlalu berlebihan hingga Saya lupa bahwa semua hal yang berkenaan dengan patah hati dapat saja terjadi.                 

    Kemudian Saya tak pernah matang dalam mewujudkan sikap bersyukur dan ikhlas dalam kehidupan sehari-hari. Seharusnya sikap yang dapat menyelamatkan Saya pada saat patah hati adalah sikap bersyukur dan ikhlas. Tanpa kedua sikap itu Saya akan terus merasa bersalah pada diri sendiri tanpa henti. Bahkan Saya akan terus memprotes jalannya hidup karena tidak pernah berpihak kepada Saya. Sikap bersyukur dan ikhlas pun adalah sikap yang tak mengabaikan sikap bersungguh-sungguh pada sesuatu. Jatuh cinta tidak hanya tentang perasaan pada hati tetapi harus diwujudkan dalam tindakan sungguh-sungguh namun tetap terikat pada sikap bersyukur dan ikhlas. Sehingga setiap pencapaian baik yang lahir dari usaha yang sungguh-sungguh akan diikat oleh rasa bersyukur dan setiap nasib buruk yang lahir setalah melakukan usaha sungguh-sungguh akan diikat oleh rasa ikhlas.              

    Di satu sisi setelah hari-hari itu, Saya mulai belajar untuk memahami bahwa jatuh cinta punya dua cabang untuk dipahami. Satu pada konsep dan kedua pada usaha teknis. Dalam ranah konsep, jatuh cinta harus bertemu dengan prinsip-prinsip dalam diri Saya sendiri sedang pada ranah usaha teknis, jatuh cinta harus terwujud pada langkah-langkah yang lebih matang. Dari hal itu Saya memahami bahwa soal jatuh cinta pada dasarnya tidak lah mudah, semua akan menjadi tantangan tersendiri jika dipahami secara utuh dan tidak terpisah-pisah. Benar bahwa ada orang-orang di luar sana sudah lebih baik dalam urusan jatuh cinta. Namun Saya pribadi masih merasa tak pandai dan dapat dikatakan “newbie” atau “noob”, terutama dalam urusan usaha. Dalam ranah konsep, Saya pastikan Saya akan cintai seseorang dengan kesungguhan hati yang Saya punya, namun Saya selalu merasa tidak tahu harus berbuat apa saat diturunkan di level lebih teknis. Itu adalah pekerjaan rumah yang harus terus menerus Saya benahi.              

    Setelah semua tragedi itu berlalu, Saya merasa bahwa ada perasaan malas untuk berurusan dengan jatuh cinta. Saya berpikir bahwa betapa rumitnya untuk berurusan dengan jatuh cinta. Tak harus sampai membangun hubungan yang resmi, masih pada tahapan PDKT saja sudah membuat Saya malas. Hal yang paling yang membuat malas adalah tentang dinamisnya perasaan orang. Saya ingin terangkan bahwa jika berurusan dengan jatuh cinta maka kita juga akan terlibat dalam dinamisnya perasaan. Saya tidak cukup kuat untuk membayangkan tentang perasaan dinamis yang harus Saya jalani ketika jatuh cinta. Seolah-seolah seperti menaiki kereta luncur (roller coaster) dengan kecepatan tinggi dan melewati berbagai jenis lintasan. Artinya perasaan dinamis yang dirasakan oleh seseorang jatuh cinta akan membuat dia sibuk dengan banyak hal.              

    Hingga di suatu waktu Saya berpikir bahwa Saya tidak akan mungkin lagi untuk jatuh cinta, karena alasan tersebut. Terkadang Saya merasa bahwa hidup yang dijalani tanpa jatuh cinta adalah cara hidup yang paling tepat untuk Saya pribadi.

Perasaan yang Mengendap              

    Saya selalu percaya bahwa memori manusia tidak hanya merekam hal-hal yang bersifat indrawi, tetapi juga hal-hal yang bersifat intuitif. Saya tidak menyangka bahwa Saya harus berurusan dengan jatuh cinta setelah sekian lama. Jika Saya hitung, kurang lebih sudah 3 tahun berlalu sejak terakhir kali Saya jatuh cinta. Saya bahkan tak menyangka bahwa akhir 2023 akan berurusan dengan hal seperti ini. Memang ini bukan sesuatu yang Saya rencakan sejak lama, tetapi Saya merasa semua menjadi tiba-tiba begitu saja. Semua ini berawal dari seorang teman yang pada suatu siang datang menemuni Saya dan berbicara banyak kepada Saya.              

    “Sepertinya kau tidak sadar dengan semua hal yang telah kau lakukan. Semua itu seolah-olah kau menaruh perasaan kepadanya dan seolah-olah kau mendekati dia. Lihat saja cara kau perhatian dengan dia. Itu seperti bukan perhatian kepada orang pada umumnya,” ujar teman tersebut kepada Saya. Saat itu Saya berkata: “bisa tidak kita bahas di lain waktu? ini jam dua siang!”. Walaupun Saya telah meminta seperti itu, namun percakapan tetaplah percakapan. Ia mengalir seperti air sungai yang mencari muara.                     

    Saat itu Saya terpaksa harus membaca beberapa percakapan antara Saya dengan dia di Whatsapp. Di satu sisi, Saya coba secepat kilat untuk mengingat semua perbuatan Saya kepada dia. Akhirnya Saya sampaikan kepada teman Saya: “berikan Saya waktu, Saya coba identifikasi sendiri, agar Saya bisa validasi sendiri perasaan yang Saya punya”. Singkat cerita, Saya memulai semua proses validasi itu. Saya tak bisa berpikir apa yang harus Saya lakukan untuk bisa memulai semua proses validasi ini. Hingga akhirnya Saya terpikirkan untuk mengajak makan Coto Makassar            

    Kesan aneh sudah pasti muncul dari dia, karena ini adalah hal pertama yang Saya sampaikan kepada dia. Namun syukurnya dia bersedia untuk iku di hari kami janjian. Saya tidak fokus pada soal Coto, Target Saya hanyalah memulai untuk memvalidasi perasaan sendiri dengan maksud menjawab pertanyaan: apakah sebenarnya Saya punya perasaan kepada dia atau tidak?. Berangkat dari pertanyaan tersebut, akhirnya Saya memulai semua proses validasi itu. Di sela sela kami makan, Saya mulai mencoba memandang matanya dan ingin mengetahui respon dari perasaan Saya. Namun Saya pun belum merasakan perasaan itu muncul.              

    Sebenarnya perasaan itu muncul karena kami sering bercakap di tengah-tengah makan dan setiap perjalanan. Saya merasa sedikit ada perasaan jatuh hati di setiap kami bercakap dan tertawa. Memang benar Saya tidak seromantis Romeo yang digambarkan oleh William Shakespeare, Majnun yang digambarkan oleh Nizami Ganjavi, atau Dilan yang digambarkan oleh Pidi Baiq. Lagi pula istilah “romantis” selalu punya ragam penerapan. Artinya setiap orang punya caranya sendiri untuk romantis.             

    Kembali ke proses validasi. Peristiwa nonton film tersebut tidak memuaskan Saya untuk memvalidasi. Artinya Saya tidak punya cukup kesimpulan untuk menegaskan perasaan Saya kepada dia, apakah ada atau tidak ada?. Pada hari-hari selanjutnya Saya coba untuk perhatian kepada dia, tetapi dengan motivasi yang berbeda. Kali ini benar-benar Saya ingin uji diri Saya sendiri. Akhirnya Saya memutuskan untuk mengurangi komunikasi dengan dia. Jika dalam tes ini Saya merasa ada gejolak rindu, maka itu membuat Saya punya bukti baru.              

    Di satu malam–dalam proses mengerjakan tugas tugas kuliah. Dalam setiap artikel yang saya baca tersebut terbayang-bayang tentang dia dipikiran Saya. Saya harus berkata pada diri Saya sendiri: “masa iya, Saya jatuh cinta?”. Saya mencoba untuk membantah itu sejak dalam pikiran namun selanjutnya Saya terpikirkan tentang kondisinya dia. Ragam pertanyaan seperti: “apakah dia sudah makan?”, “apa yang dia perbuat?”, “bagaimana kondisinya di sana?”. Semuanya mulai silih berganti datang dalam pikiranku.              

    Suatu malam Saya mulai terpikirkan tentang dirinya. Hal itu datang dengan tiba-tiba, tanpa Saya kehendaki. Saya terpikirkan raut wajahnya, candaan-candaan yang kami temukan saat berbincang, dan paling aneh saat itu Saya terpikirkan sorot matanya. Sekali lagi Saya berkata kepada diri sendiri: “masa harus dia?” dan “sepertinya tidak mungkin ini semua terjadi”. Saya mencoba menyibukan diri dengan membaca beberapa buku yang telah lama Saya niatkan untuk membacanya. Namun naas, Saya mulai terjebak dengan semua pikiran itu. Di malam itu, Saya merasa gugup sendiri. Seolah-olah antara tidak percaya dan bingung harus melakukan apa. Namun keesokan harinya Saya mencoba lagi untuk membantah hal tersebut.              

    Di suatu siang, Saya mencoba untuk mengajak dia makan siang. Saya pikir karena dia belum makan saat itu. Beberapa waktu setelah makanan itu tiba, Saya jadi teringat sebuah penggalan kata dari novelis Dee Lestari dalam Perahu Kertas. Dee berkata: “Karena hati tidak perlu memilih, ia selalu tahu ke mana harus berlabuh”. Saya merasa bahwa siang hari memikirkan seseorang bukan lah sesuatu yang lazim, tapi Saya tahu bahwa kenyataannya kita bisa saja memikirkan seseorang tanpa mengenal waktu.      

    Saya merasa mulai jengkel karena yang tadi Saya sebut di atas, yaitu “dinamisnya perasaan”. Saya kadang-kadang merasa ingin bertemu dengannya, Saya terkadang harus menghindarinya, dan Saya mulai merasa terjebak dan tidak bisa keluar dari perasaan ini. Namun Saya merasa ini belum kuat untuk ditarik kesimpulan. Sebenarnya Saya pun mulai merasa aneh kepada diri sediri karena dalam waktu yang sama Saya berkeinginan untuk memvalidasi perasaan Saya sendiri, kemudian menolak semua kenyataan yang digaungkan oleh perasaan ini, sekaligus bingung dengan apa yang harus Saya lakukan. Semuanya menjadi mixed feeling untuk waktu yang lama.              

    Untuk beberapa kali kesempatan Saya kadang tidak sadar melihat wajahnya yang sedang sibuk mengerjakan sesuatu di hadapan Saya. Saya rasa itu semakin membuat perasaan aneh dalam hati semakin kuat dan berpikir “sepertinya persoalan validasi ini akan segera tiba ujungnya”. Sesekali kami berinteraksi, tetapi Saya merasa mulai canggung untuk berinteraksi dengan dia. “apakah ini perasaan jatuh cinta itu?”, kataku dalam hati. Namun untuk kesekian kalianya Saya mencoba untuk menepiskan pikiran tersebut.              

    Suatu malam Saya mencoba untuk mengakhiri semua proses validasi ini dengan merenung sembari mengulas kembali hal-hal yang telah terjadi. Saya berpikir dan merasa bahwa benar Saya jatuh cinta padanya dan Saya menaruh hati kepadanya. Saya pikir itu adalah kesimpulan yang jelas untuk memotret semua hal yang telah terjadi antara Saya dengan dia. Saya tidak menyangka hal tersebut, setelah sekian lama Saya harus kembali berurusan dengan jatuh cinta. Namun Saya pun merasa bahwa Saya tidak menyesali bahwa dia adalah orang yang cintai setelah lama tak mencintai seseorang. Itu dikarenakan Saya merasa Saya jatuh hati pada orang yang tepat untuk Saya cintai. Bahkan rasa tidak menyesal itu membuat Saya untuk tidak pernah takut atas penolakan yang suatu saat dia sampaikan kepada Saya.              

    Kesadaran Saya tiba pada hal-hal yang telah terlewati dengan dirinya. Saya menyadari bahwa sejatinya ada perasaan yang mengendap pada hati ini. Perasaan itu ternyata di setiap harinya semakin menebal karena interaksiku dengan dirinya. Akhirnya aku menyadari bahwa bukan hanya interaksi diantara kami berdua yang terbangun, namun pada saat yang bersamaan ada perasaan dalam diriku yang diam-diam ikut tumbuh membersamai interaksi itu. Mungkin saja perasaan yang tumbuh bersama interaksi itu setelah kami menyelesaikan perjalanan ke kampung halamannya. Mustahil bagi Saya untuk menolak semua ini karena semuanya terus tumbuh mengganggu pikiranku.              

    Saya pun menyadari bahwa jatuh cinta selalu unik, ia tidak harus dalam situasi langsung tetapi bisa juga dalam situasi secara tidak langsung. Dalam kesunyian ia terus perlahan tumbuh lalu mengikat seluruh tubuhku serta ikut bersama setiap tarikan dan hembusan nafas serta seolah-olah tak ingin lepas. Saya pun menyadari bahwa di hari-hari Saya menyadari tentang perasaan ini, Saya tahu itu tidak sederhana. Selanjutnya adalah bagaimana Saya bisa menyatakannya pada dirinya. Namun satu hal yang masih menjadi pertanyaan saat itu: “apakah dia menyadari perasaan ini?.”  

Kenapa Harus Dia?              

    Ini merupakan sub bagian paling berat untuk Saya tulis sebab Saya nyaris tak punya cukup argumentasi untuk menerangkan alasan memilih dia atau alasan untuk jatuh hati padanya. Di satu sisi, Saya berpikir bahwa kutipan “cinta tak perlu alasan” sedikit mengganjal bagi Saya karena sangat tidak mungkin cinta hadir tanpa suatu alasan tertentu, baik itu alasan subjektif maupun alasan objektif. 

    Berkali-kali Saya coba diidentifikasi secara mandiri tentang alasan Saya memilih dia untuk melabuhkan hati ini. Saya merasa bahwa semua itu tentang perasaan yang mengendap setelah sekian lama. Saya tahu bahwa cinta harus menyertakan alasan sekalipun alasan itu sulit untuk ditemukan. Namun jika Saya bisa memilih satu kata, maka Saya akan memilih kata “kenyamanan” untuk membungkus seluruh proses itu. Saya tahu mungkin kata ini tidak lah akurat, tetapi apa yang rasa adalah demikian. Saya merasa bahwa komunikasi dan interaksi dengan dia telah terbangun sampai pada kata “kenyamanan”. Di satu sisi, kesamaan prinsip adalah hal yang paling pokok dan itu jantung komunikasi yang paling penting. Sederhanannya Saya merasa dalam sudut pandang Saya bahwa adanya kesamaan diantara kami itu karena nyaris semua variabel pada prinsip-prinsip kami telah menemui kesamaan. Sekiranya itu adalah alasan yang paling substansial dari pada yang Saya temukan setelah hari-hari panjang Saya lewati.     

Di Hari-Hari Selanjutnya              

    Hampir tidak ada dalam benak Saya tentang suatu hal yang kenyataannya merepotkan diri Saya sendiri, tetapi pada akhirnya Saya jalani dengan kesungguhan hati yang Saya miliki. Di hari-hari selanjutnya telah menjadi tantangan, Saya merasa bahwa upaya untuk menguji diri sendiri tidak lah habis hanya sampai pada tahapan PDKT. Masih ada lembaran-lembaran selanjutnya yang menjadi tantangan. Saya tahu bahwa suatu saat Saya akan mengungkapkan semua itu dengan penuh perasaan yang mendalam.  Mari kita kesampingkan jawaban yang akan dilontarakan olehnya karena Saya pribadi lebih memilih prinsip “untuk membenahi ikhtiar dari pada sibuk panik pada hasil”. Terkadang sibuk pada hasil membuat Saya pribadi lupa untuk membenahi ikhtiar. Lebih sederhana lagi, bagi Saya yang menganut konsep tentang hak asasi manusia adalah sesuatu yang melekat sejak lahir, tak mengherankan untuk tidak pernah memasuki ruang kebebasan yang dia punyai. Dia dengan segala hak melekat pada dirinya, mempunyai kebebasan untuk mengukur, menguji, dan memilih Saya. Sebab manusia berhak untuk memutuskan pilihannya, tak terkecuali memutuskan orang yang dia cintai.              

    Di hari-hari selanjutnya Saya berpikir bahwa jauh sebelum bertemu dengan Saya, dia mungkin saja mempunyai orang yang ia cintai. Pun bertemu dengan Saya, dia mungkin saja tidak melihat Saya sebagai seseorang yang masuk dalam kriteria-kriteria yang ia buat. Semua itu yang membuat Saya selalu berpikiran ditolak olehnya. Namun pertanyaan krusialnya adalah: “apakah sikap dan perilaku Saya kepada dia akan berubah jika ditolak?”. Sejatinya sikap dan perilaku Saya tidak akan berubah kepadanya, terkecuali niat dan motivasi yang menyertainya.              

    Di hari-hari selanjutnya Saya berpikir bahwa dia membutuhkan waktu untuk bisa merespon secara utuh. Semua mungkin akan terpengaruhi oleh banyak hal. Saya tak pernah tahu apa yang di hati dan di pikirannya, namun yang terpenting adalah Saya fokus pada apa yang harusnya Saya lakukan sembari mempersiapkan sikap bersyukur dan ikhlas. Lalu pernyataan lainnya bermunculan: “apakah perasaan Saya akan berubah?”. Pada prinsipnya, perasaan Saya berubah pada dirinya jika dirinya sendiri yang memintanya karena lagi dan lagi ini menyangkut kebebasan yang sejatinya Saya miliki dan dia miliki juga.              

    Saya ingat bahwa Saya sering keterusan berbicara sesuatu kepadanya. Alhasil Saya sedikit banyak bercerita tentang pengalaman Saya dalam memvalidasi perasaan kepada dia langsung. Saya rasa itu adalah tindakan paling bodoh dan aneh pernah Saya lakukan, tetapi semua telah tersampaikan, tugas dia hanya mendengarkan dan merespon apa yang Saya sampaikan. 

Outro              

    Pada bagian terakhir ini, Saya ingin meminjam kata-kata seorang Filsuf asal Jerman yang lewat diberanda Ig saya, Georg Wilhelm Friedrich Hegel. Dalam bukunya yang berjudul Grundlinien der Philosophie des Rechts (Elements of the Philosophy of Right), Hegel berkata: “Filsafat, sebagaimana Burung Minerva, selalu datang terlambat. Ia datang saat hari sudah berganti malam; saat kenyataan sudah selesai sebagai kemenjadian”. Meminjam kata-kata Hegel tersebut, Saya ingin berkata: “cinta terkadang seperti Burung Minerva, terkadang ia datang terlambat. Ia datang saat nyaris kesadaran tak ingin berkata aku mencintai dirinya; saat semua perasaan tentang dirinya nyaris tak menjadi apa-apa”.              

    Saya pun merasa bersyukur dengan semua ini, bersyukur akan jatuh cinta pada dirinya dan bersyukur untuk tak pernah ada rasa sesal untuk mencintai dirinya. Bagi Saya, sekali lagi, Saya tak sedikit pun menyesal kalau tahu Saya akan jatuh cinta kepada seseorang dan orang itu adalah dirinya. Saya pun tak menyesali pernah jatuh cinta pada orang menyukai matcha, kucing, lagu-lagu Tulus, makan soup cream, jokes bapak-bapak dan Apakah sekarang di juga telah menyukai Oppa2 Korea seperti bestinya (N) Partner badmin saya, serta berprinsip untuk tidak melompati masuk ke dalam ruang kebebasan orang lain. Tak sedikit pun Saya sesali ini.              

    Sebenarnya Saya berharap tulisan ini abadi di perangkat Saya, tetapi Saya pun ingin mengabadikannya sebagai suatu momen yang terekam dalam memori saya. Saya pun berharap awalnya tak akan pernah dibaca oleh yang bersangkutan, namun mungkin garis takdir serta kekocakandan kekakuan yang saya buat menjadikan tulisan ini akhirnya akan dibaca oleh dirinya. Hingga di akhir kalimat ini, saya ingin menitip pesan untuk dirinya yang membaca tulisan: “kenyataan kadang tidak memihak kepada apa yang kita kehendaki, mungkin saja waktu saya tidak begitu lama, tetapi saya senang dan tak sedikit pun menyesali apa yang saya berikan kepadamu, benar-benar tak akan menyesalinya. Engkau bisa mengujinya dengan waktu. Jika benar-benar kenyataan tak memihak pada Saya sekalipun, biarkan Saya abadikan semua sikap dan perbuatan yang pernah saya berikan untukmu sebagai momen yang indah dan bermakna. Terima kasih”.







Minggu, 23 Oktober 2022

Sebuah Percakapan Yang Tidak Menyepelehkan Patah Hati #3



Sore itu di awal bulan Oktober. Seperti beberapa hari sebelumnya, hujan selalu datang lebih awal, saat semua orang sedang mengidam-idamkan langit sore beserta keindahan senjanya. Sepertinya warna jingga menjadi warna favorit bagi mereka yang menyukai keelokkan semesta. Sesaat setelah hujan mulai meredah, saya pun seketika melihat gawai milik saya yang menunjukkan ada sebuah pesan singkat dari seorang teman perempuan. Singkatnya pesan itu berisikan kabar darinya yang telah menunggu saya di sebuah kafetaria dengan maksud mengajak saya untuk bertemu sekaligus bercerita mengenai pengalaman hidupnya selama 4 tahun belakangan.

Wajar saja ia sangat bersemangat untuk pertemuan tersebut, karena kenyataannya dalam 4 tahun belakangan ini kami tidak bertemu satu sama lain. Hal ini disebabkan karena ia harus melanjutkan studi Sarjananya di luar kota. Serupa dengannya, saya menjadi bersemangat untuk menghadiri pertemuan tersebut, karena seingat saya bahwa teman saya tersebut terakhir kali bercerita dengan saya tentang berita diterimanya dia di sebuah kampus negeri terbaik. Di satu sisi, ia juga bercerita tentang seorang laki-laki yang menarik perhatiannya. Saya benar-benar penasaran tentang cerita yang ia bawa selama 4 tahun belakangan ini.

 4 tahun telah berlalu dan kini teman saya tersebut terlihat “ngebet” untuk bertemu dengan saya. Kediaman saya memang tidak cukup jauh dari tempat janjian kami untuk bertemu, tetapi waktu menjadi lama karena saya masih terdiam dan bertanya-tanya kepada diri sendiri perihal cerita-cerita seperti apa yang akan teman saya sampaikan. “Apakah ini tentang keberhasilannya dalam mencapai gelar Summa Cumlaude? Ataukah ini tentang berita baik darinya yang akan segera menikah? Ataukah ia mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keinginannya?”, tanya saya dalam hati. Saya menjadi sangat penasaran dengan pengalamannya selama 4 tahun belakangan ini. Saya seperti merasa bertemu dengan orang yang baru saya kenal, meski kenyataannya baik saya dan dia telah berteman selama 5 tahun.

 Setibanya saya di kafetaria tersebut, saya mendapatkan masalah baru. Ini seperti di beberapa sketsa komedi yang pernah saya nonton di setiap malamnya. Saya salah duduk di sebuah kursi yang saya pikir bahwa orang yang berada di seberang saya tersebut adalah teman saya. Ini cukup memalukan, tetapi saya berupaya menjaga harga diri di tengah-tengah keramaian kafetaria tersebut. Pada akhirnya, teman saya dengan cepat mengangkat tangannya seraya berkata “Hei, sebelah sini!”. Dengan gercep saya menghampirinya dan langsung duduk tanpa dipersilahkan. Maklum saya mencoba untuk tidak merasa canggung setelah kejadian barusan. “Apa kabar?”, tanyanya padaku. “Jika ada ungkapan yang lebih baik dari pada kata “baik” itu sendiri, sebenarnya aku ingin jadikan itu sebagai jawaban atas pertanyaanmu”, jawabku dengan humor sekaligus membangun suasana yang tidak terlalu canggung.

 Singkat cerita, percakapan kami pun dimulai. Dari saling tanya tentang pencapaian-pencapaian terkini hingga mengingat sejumlah peristiwa yang mengundang gelak tawa menjadi bagian yang menghangatkan percakapan kami. “Hei, beberapa bulan lalu sebelum datang ke kota ini, aku merasa buruk dengan kondisi psikologisku, tapi tenang aku sudah melewati semuanya, makanya sore ini aku bisa bercerita denganmu”. Dalam benakku, sebagai sebuah transisi percakapan, pernyataan yang ia sampaikan tersebut cukup bagus sekaligus aku ingin menebak-nebak arah pembicaraan ini. “Sepertinya ada yang baru sembuh dari patah hati”, kataku padanya. “Haha. Sepertinya dari dulu, tebak-tebakkanmu tidak pernah meleset”, timpalnya. “Kamu masih ingat laki-laki yang aku ceritakan 4 tahun lalu kepadamu?”, tanyanya padaku. “Iya. Bahkan perawakannya yang kamu gambarkan kepadaku, masih cukup jelas teringat”, jawabku kepadanya. “Sepertinya anugerah daya ingat yang kuat memang benar-benar ada padamu”, ujarnya.

 Dalam percakapan kami tersebut, saya menjadi paham kenapa ia harus mengangkat topik tentang pengalamannya sembuh dari patah hati sebagai salah satu topik utama dalam percakapan. Memang terlalu gila untuk digambarkan kalau saat kita mempunyai orang yang kita cintai ditambah dengan segudang citra baiknya di publik, ternyata memutuskan untuk mengakhiri hubungan dengan diri kita. Parahnya, belakangan kita pun akhirnya mengetahui kalau orang tersebut ternyata berselingkuh sebelum hubungan asmara yang kita bangun menjadi hancur tak tersisa. Ini merupakan salah satu kekejaman yang realitas sodorkan kepada kita. Seketika saya menjadi berempati kepada teman saya tersebut atas premis yang ia bangun di awal percakapan mengenai topik patah hati. Iya, benar, patah hati. Sebuah topik yang tidak dapat digilas oleh zaman. Jumlah umat manusia terus bertambah dan kecanggihan teknologi tidak dapat dibendung, tetapi persoalan patah hati sepertinya terus ada dengan pola yang sama

Apa yang diceritakan oleh teman saya tersebut nyatanya menjadi menarik setelah di saat sedang asik bercerita dengan ekspresi alami yang ia punya, saya perlahan-lahan mengingat sebuah buku yang berjudul How To Fix Broken Heart yang terbit pertama kali pada tahun 2018 – yang dalam terjemahan bahasa Indonesia berjudul Bagaimana Menyembuhkan Patah Hati – karya dari Guy Winch seorang psikolog asal Amerika yang kerap menggeluti isu-isu kesehatan mental, termasuk patah hati. Saya belum lama ini telah menamatkan buku Winch tersebut dan memang berencana untuk mencari medium untuk dijadikan tempat berbagi isi buku itu. Tak dapat disangkal bahwa buku Winch –dengan sampul berwarna biru tersebut – memang menjadi salah satu buku yang menyita perhatiaan kebanyakan orang yang sedang ingin belajar menyembuhkan patah hati. Saya pikir cukup tepat untuk menyampaikan isi buku Winch tersebut di sela-sela percakapan kami, agar percakapan tersebut cenderung menjadi lebih produktif dan tidak hanya menjadi sebatas percakapan yang membosankan. Mari kita lihat seberapa relevannya isi buku yang ditulis oleh Winch tersebut dengan percakapan yang sedang dilakukan oleh kami berdua.

Kegagalan Sistem Pendukung

  Patah hati telah menjadi sesuatu yang menarik fokus banyak ilmuwan untuk menelitinya. Ratusan jurnal akademis terpublikasi dengan maksud memahami pola patah hati yang dialami oleh seorang manusia. Patah hati tidak mengenal identitas gender seseorang atau usia seseorang, ia benar-benar seperti Badai Katrina yang melahap seluruh yang dilewatinya dan memberikan dampak signifikan kepada korbannya. Lucunya, meski dianalogikan dengan bencana alam sekalipun, patah hati tetaplah masih menjadi topik yang remeh-temeh bagi beberapa orang. Setidaknya seperti itu yang ditegaskan oleh Winch dalam bukunya How To Fix Broken Heart. Tahapan pemulihan paling awal dari patah hati adalah kebutuhan akan dukungan sosial atau kekuatan dari sistem pendukung seperti: teman, sahabat, keluarga, dan lain sebagainya.

 Alih-alih berempati pada orang yang mengalami patah hati, justru yang dilakukan oleh kebanyakan dari orang-orang adalah menjadikan patah hati sebagai sesuatu yang tidak cukup layak untuk diangkat sebagai sebuah masalah. Parahnya, Winch mengatakan dalam bukunya tersebut bahwa beberapa dari kita menganggap patah hati – dalam konteks cinta romantis – adalah bagian identitas yang dilekatkan kepada remaja, bukan kepada orang dewasa. Paling tidak saya memahami bahwa Winch ingin menyatakan bahwa patah hati tidak boleh dianggap remeh begitu saja. Ini persoalan serius yang membutuhkan dukungan sosial dalam wujud empati guna menghasilkan pemulihan yang cepat.

 Dalam hal ini, teman saya dengan sedikit berlinang air mata pada matanya, berkata: “Di saat-saat aku membutuhkan orang-orang memberikan sedikit kasih sayang yang mereka punya. Justru yang aku terima seperti sebuah pengucilan atau lebih tepatnya pengabaian. Bahkan aku merasa semua orang hanya menginginkanku saat bahagia saja, tanpa pernah melihat sisi paling hancur dalam hidupku. Bukankah kebahagiaan dan kesediaan adalah sesuatu yang tidak dipisahkan dengan manusia? Bukankah itu salah satu yang membuat kita menjadi manusia sebagaimana mestinya?”. Merespon hal tersebut, saya berpikir bahwa orang patah hati sebenarnya tidak membutuhkan suatu kebutuhan materil, melainkan ia membutuhkan sentuhan immaterial untuk kesehatan mentalnya

“Hei, mereka seharusnya mulai menyadari ada dampak buruk yang dihadapi oleh beberapa orang saat sedang patah hati. Seperti yang dijelaskan oleh Winch dalam How To Fix Broken Heart bahwa patah hati itu dapat menimbulkan intensitas rasa sakit emosional hingga mengambil alih pikiran kita dan bahkan tubuh kita secara totalitas”, ucapku kepadanya untuk menanggapi curhatannya. “Sepertinya kamu barusan menyebutkan sebuah judul buku. Aku jadi tertarik untuk membacanya. Untuk berjaga-jaga agar tidak mengulangi cara pemulihan yang salah”, timpalnya. “Aku pikir, apa yang kamu sampaikan sebelumnya sangat erat kaitannya dengan kegagalan sistem pendukung”, kataku kepadanya. “Kegagalan sistem pendukung?. Sepertinya benar, tapi kegagalan sistem pendukung itu mungkin tidak hanya disebabkan karena mereka kurang berempati kepadaku tetapi boleh saja karena perilaku mendesak yang aku lakukan kepada mereka”, timpalnya.

 Kalau diingat kembali, apa yang dijelaskan oleh Winch dalam bukunya tersebut, saya memahami bahwa kegagalan sistem pendukung saat patah hati tidak hanya terjadi karena asumsi mereka yang mengabaikan orang patah hati atau kesalahan mereka yang kerap menyepelehkan tentang patah hati. Di lain sisi, ini juga berkaitan dengan apa yang kita (sebagai orang yang patah hati) lakukan kepada mereka. Lebih tepatnya menurut Winch ini berkaitan dengan cara kita yang kerap membebani sistem pendukung kita sendiri. Sistem pendukung kita telah datang dengan empati yang paling lembut dari mereka punya dan kasih sayang yang paling halus dari mereka punya, tetapi kita terlalu membebani mereka dengan banyak efek riak-riak saat patah hati. Jika sebagai respon wajar, sepertinya hal itu tidak menjadi masalah. Namun, kalau diulang-ulang dalam waktu yang relatif lama, mereka justru akan merasa terbebani. Menurut Winch, ini bukan berarti kita harus menghilangkan kebutuhan emosional kita dari empati dan kasih sayang, tetapi kita juga harus menjadi tanda untuk mengawasi diri sendiri agar tidak terlalu membebani sistem pendukung yang kita miliki. 

 “Saya kerap mengirim pesan kepada mereka untuk mendengar keluhan saya”, ujar teman saya tersebut, “atau setidaknya setiap 3 malam sekali, tepat di jam 12 malam, saya menghubungi salah satu dari mereka untuk mendengarkan suara tangisan saya”. Tampaknya kegagalan sistem pendukung disebabkan oleh dua arah, setidaknya-tidaknya dalam tahapan pertama untuk memulihkan seseorang dari patah hati, baik kita dan sistem pendukung harus benar-benar saling memahami satu sama lain. Sistem pendukung harus memahami bahwa saat kita sedang patah hati, kita hanya butuh empati dan kasih sayang. Sedangkan dari sisi kita, ada suatu keharusan untuk memberikan ruang kepada sistem pendukung untuk mengaktualisasikan rasa empati dan kasih sayang yang mereka punya tanpa ada tendensi untuk membebani mereka.

Semuanya Berawal Dari Diri Sendiri

“Patah hati adalah mesin paradoks psikologis yang tiada habisnya”, kata Winch dalam bukunya. Saya sepakat dengan hal itu, dimana pada kenyataannya kalau kita memperhatikan bahwa keinginan kita untuk mengakhiri penderitaan emosional yang disebabkan oleh patah hati tidak berbanding lurus dengan dorongan pikiran kita yang memanjakan perilaku kita untuk kembali dan kembali ke situasi ideal yang kita inginkan. Padahal kita dituntut untuk memulai semuanya dengan perasaan lebih terbuka dan berani menyatakan kepasrahan atas apa yang terjadi. Kepasrahan ini bukan berarti upaya pelemahan diri, tetapi ini menjadi langkah awal untuk kita memulih diri atau tepatnya menyembuhkan diri dari patah hati.

“Semua itu saya mulai dengan membatasi interaksi dengan dirinya dan membiasakan diri untuk tidak memaknai lagu Tulus yang berjudul Hati-Hati Di Jalan secara berlebihan”, ucap teman saya yang menjelaskan awal dia mulai memulihkan dirinya, “membiasakan untuk menerima keadaan baru, berhenti menguntit dirinya, membuang semua perasaan yang saya damba-dambakan kepadanya. Saya ingin mental saya membaik. Orang-orang yang datang berempati kepada saya memberikan saya kekuatan untuk menghentikan dorongan dari pikiran saya untuk tetap candu kepadanya. Ini sulit, tapi semuanya berawal dari diri saya sendiri”. Setelah dia mengucapkan hal tersebut, saya menjadi cukup percaya diri untuk mengatakan isi buku lainnya yang ditulis oleh Winch. “Sepertinya saya sepakat dengan tindakanmu. Pilihan yang tepat. Winch juga menjelaskan demikian. Patah hati dalam konteks cinta romantis, benar-benar membuat kita memusatkan perhatian dengan rekasi hormon yang berlebihan kepada satu orang”, jelasku kepadanya, “Ini benar-benar seperti seorang pecandu narkoba yang saat kehilangan narkoba ia seperti orang gila yang dipaksa-paksa untuk menggunakan narkoba oleh pikirannya sendiri”.

Kita tahu bahwa tubuh kita mempunyai suatu sistem kerja yang menyembuhkan dirinya sendiri. Namun kalau diperhatikan kembali, sebenarnya pikiran kita mendorong kita untuk menghindari luka yang sama. Disinilah maksud Winch yang mengatakan kalau patah hati adalah mesin paradoks psikologis yang tiada habisnya. Saat luka fisik yang mempunyai sistem kerja menyembuhkan dirinya sendiri, justru patah hati bekerja sebaliknya. Paradoksnya terletak pada, semakin kelam pengalaman patah hati yang kita alami, semakin kuat dorongan kepada diri kita untuk tidak membuat kesalahan yang sama. Alhasil, pikiran kita menjaga luka patah hati itu tetap segar seperti saat pertama terjadi agar kita mengafirmasi diri untuk tidak melakukan hal yang sama. Ini justru memperparah diri kita, karena sebenarnya hal itu menyebabkan tidak ada yang sembuh. 

“Setelah saya pikir-pikir kembali, saat itu saya meyakinkan diri saya bahwa saya sangat menyayangi diri saya”, ucap teman saya tersebut yang sedang mengingat-ingat kembali masa-masa pemulihannya, “saya harus bersikap welas asih kepada diri saya sendiri. Saya tidak harus menderita lebih lama lagi, saya harus percaya diri untuk melewati semua fase yang menguras emosi ini”. Spontan saya tepuk tangan atas pernyataannya tersebut. Teman saya pun menjadi tersanjung atas hal tersebut. Saya pikir itu bukan pujian yang hanya bermaksud memberikan feedback kepada curhatannya, tetapi itu merupakan respon alami yang saya lakukan karena keputusan yang sangat tepat dibuat olehnya.

 Dalam suatu sub bab, dalam bukunya, Winch sangat menekankan pada perubahan diri sendiri untuk melawan gejolak emosional selama patah hati. Semua empati yang datang seharusnya dapat dikonversi menjadi kekuatan welas asih kepada diri sendiri. Dari welas asih inilah kita mulai mencari cara paling kreatif untuk menyembuhkan diri kita. Paling tidak Winch dalam bukunya menekankan lagi pentingnya mencari sebanyak-banyak cara untuk memperluas welas asih kepada diri sendiri sebagai upaya untuk memulihkan diri dari patah hati. Hal ini yang disinggung oleh Winch dalam bukunya – dengan istilah lainnya – yaitu “self-compassion”. Dalam bukunya juga, Winch menyarankan kepada para pembaca untuk dapat melakukan salah satu cara dalam menyembuhkan diri dari patah hati, yaitu menggunakan mindfulness. Sebuah meditasi yang berfokus untuk merespon emosi negatif dalam diri dengan terbuka. Tujuan dari mindfulness adalah membuang seluruh emosi negatif yang ada pada diri kita, dan mengembalikan suasana positif secara emosional dan psikis

“Pada akhirnya, saya harus berjuang menghindari diri saya terjebak dalam sindrom patah hati”, tegasnya kepadaku, “saya akhirnya menyadari bahwa semuanya dimulai dari diri saya. Saya harus berani menghilangkan dampak dari patah hati yang pernah saya alami, dan berani terbuka dan menyayangi diri sendiri”, tutupnya percakapan kami berdua, dan ia mulai meminum kopi di hadapannya yang mulai habis. Saya berpikir bahwa ini pertemuan yang sangat menguntungkan bagi saya. Percakapan yang luar biasa, saya juga cukup menikmati percakapan ini. Saya sangat senang, jika banyak orang di sekitar saya mulai secara perlahan berdamai dengan dirinya sendiri, menerima kenyataan, dan membuka diri sendiri kepada dunia. Di akhir pembicaraan sebelum pulang, teman saya berucap kepada saya: “Saya tidak perlu takut lagi untuk memulai cinta yang baru, saya selalu yakin ada realitas yang dapat berpihak kepada saya. Memang cukup sulit untuk segera menemukan realitas yang saya maksud, tetapi kepercayaan diri saya mengantarkan saya tiba pada keyakinan akan datangnya hari yang paling saya idam-idamkan itu”.


Sabtu, 03 September 2022

Menjadi Yang Terbaik Dimatanya (Meski Sulit) #2

Bagimana menjadi yang terbaik? Iya betul dengan mencintainya sepenuh hati. Meski akhirnya tdak bersama atau berjodoh tapi kita akan selalu mendapat tempat terindah dihatinya heheh.. Kita akan selalu mencintainya dengan setulus hati, setia disampingnya, Mendengarkan segala kelukesahnya karna begitulah memang adanya perempuan dia tidak butuh teori2nya kita, tidak butuh adu kepintaran cukup dengarkan, karena terkdang mereka tidak butuh jalan keluar dari masalah yang dihdapinya, tapi mereka hanya ingin didengar. Meski pada akhirnya kita tersadar dia bukan cinta sejatinya kita.


Apa pun yang kita lakukan sekalipun itu baik, mungkin belum tentu baik menurut mata orang lain atau Si Dia wkwkw. Tapi, ini bukan alasan untuk behenti berbuat baik, bukan? Karena kenapa berbuat baik Dan kebaikan adalah fitrah dasarnya kita sebagai manusia, mungkin saat ini dia tidak tersentuh dengan apa yang kita lakukan untuknya tapi percayalah suatu saat dia akan menyadari Bahwa semua yang kita lakukan itu tulus

"Sebaik baiknya kita, kita Tidak akan pernah bisa membahagiakan semua orang, karena tidak ada yang bisa mengubah sesorang kecuali dirinya sendiri"

Pernahkah kita mencampakkan seseorang Yang begitu baik dan tulus meski hanya sekali? Beberapa tahun kemudian tanpa sengaja sosok tersebut terlintas dipikiran dan hatimu? Akhirnya dalam renungan itu kita menyadari bahwa dia adalah orang yang terbaik. Ohh tentu inu akan emnjadi penyesalan yang sangat dalam, apalagi kalau si dia telah bahagia bersama orang lain, Dan kita tidak dapa memutar waktu. 

"Sering kita melewatkan cinta sejati hanya untuk mencoba mencari yang terbaik atau mencari yang lebih dari apa yang kita miliki saat ini, walaupun kita akhirnya tersadar Bahwa ia yang dalu bersama kita tetaplah menjadi yang terbaik dihati"

Begitu banyak orang yang pernah mengalami seperti ini, orang orang yang tulus dicampakkan, ditinggalkan, Tidak dianggap, dan bisa jadi akan menjadi  penyesalan serta kenangan terindah bagi mereka yang meninggalkan. 

Kita Yang selalu menyeka air matanya, Kita yang selalu membasuh keringatnya, Kita yang selalu memeluknya saat rapuh. Sangat mustahil jika hatinya tidak menyimpan kenangan luar biasa tersebut. Iya... Mungkin beberapa saat Ia dapat melupakannya dan terus mencoba untuk melupakan, tapi hati dan pikiran tidak semudah itu untuk melupakan. Karena segala cinta yang diberikan secara tulus akan selalu terpati dalam hatinya..


Jumat, 19 Agustus 2022

Hidup Itu Pilihan #1

    Waktu Terus berlalu tidak terasa sudah 4 tahun lamanya saya berada di Makassar, beberapa ada yang bilang sudah 5 tahun, betapa relativnya sang waktu. Satu hal yang pasti adalah rasa syukur Alhamdulillah telah menyelesaikan studi saya dalam waktu 3 tahun 10 bulan di program studi Manajemen, Universitas Negeri Makassar dengan hasil memuaskan, Mama dan Bapak ini Untukmu.

Finally, setelah perjuangan selama hampir 4 tahun untuk wisudanya sendiri pada saat itu di bulan agustus diadakan secara daring ini adalah pertama kalinya dalam sejarah kampus UNM melaksanakan wisuda secara daring karena kondisi pandemi Covid-19 waktu itu, namun itu tidak mengurangi kesakralan wisuda yang jelas secara de facto dan de jure saya telah lulus, heheh.

Betapa cepat waktu berlalu, seperti anak panah yang terlepas dari busurnya dan tidak akan pernah kembali. saya masih ingat betul sekitar 4 tahun yang lalu saat menerima email perihal pengumuman kelulusan SNMPTN, dengan cukup cemas dan antusias saya membuka pengumuman kelulusan itu di website dan alangkah bahagianya saya pada saat itu, syukur Alhamdulillah saya diterima Masuk kampus Universitas Negeri Makassar

Saat itu perasaan campur aduk antara senang, sedih dan bimbang. senang karena impian untuk belajar Manajemen di kampus Impian Tercapai, sedih karena harus pisah dari keluarga, dan bimbang karena masih tidak yakin 100% untuk berangkat ke Makassar, keluarga juga seperti berat melepas saya.

Tapi saya sepenuhnya sadar bahwa hidup itu pilihan. kita harus berani meninggalkan zona nyaman kita, karena tidak ada pertumbuhan di zona nyaman dan tidak ada kanyamanan di zona pertumbuhan, kita harus meninggalkan zona nyaman untuk terus  berkembang.

Saat itu saya dihadapkan 2 pilihan. pertama, berangkat kemakassar dan meninggalkan zona nyaman saya jika ingin tumbuh dan berkembang. Kedua, tetap berada dizona nyaman tapi kesempatan untuk tumbuh dan berkembang akan hilang. Kalau ikut kata hati ingin berada di zona nyaman tapi bisa tetap tumbuh dan berkembang. tapi tidak mungkin ada kondisi ideal seperti itu toh? tidak mungkin segala sesuatu didunia ini berjalan 100% sesuai kehendak kita, untuk mendapatkan sesuatu kita harus mengorbankan sesuatu. 

Akhirnya saya memilih opsi kedua, meninggalkan zona nyaman untuk berjuang mengejar mimpi saya. seperti seorang prajurit yang berperang dan kapalnya sudah dibakar oleh musuh. saat itu tidak ada lagi jalan mundur ke belakang dan satu-satunya jalan adalah maju kedepan. saat saya sudah memutuskan opsi kedua, maka saya berkewajiban untuk menyelesaikannya dengan baik.

Makassar 19 Agustus 2022

Reski Putra Utama, S.M

Ig : @rskprtmaaa__     Email : utamareskiputa@gmail.com